Senin, 21 Mei 2012

Tetangga

Tags

Flash Fiction Ragil Koentjorodjati
tangan tuhan
Ilustrasi dari wordpress
Ceritanya begini. Mungkin ini kesalahan saya ketika saya nekad mendirikan rumah bersebelahan dengan mereka. Kautahu, tanah dan rumah sekarang amat mahal. Lalu saya mendapat tanah kosong yang dijual begitu murah, tanah sebelah tetangga itu. Tentu saja langsung saya beli. Adakah pilihan yang lebih baik bagi orang miskin selain sesuatu berharga murah?
Usut punya usut, tanah tersebut dijual murah sebab tetangga itu begitu sangar dan mengerikan, satu keluarga dengan pola pikir picik, egois, fanatik dan nyaris tidak manusiawi. Tidak ada seorang pun yang betah tinggal dekat mereka. Anak-anak mereka begitu banyak dan nyaris tiap hari bertengkar meributkan sesuatu yang sepele seperti misalnya siapa yang mendapat giliran buang sampah hari ini. Hal sepele bisa berujung pada perkelahian sengit sampai ke pelataran tetangga.
Awalnya aku tidak terlalu peduli. Aku berpikir, tanah sudah kubayar lunas, rumahku sudah layak huni dan aku ingin tidur pulas waktu malam hingga cerita-cerita yang pernah kudengar tentang apa yang membuat tanah ini murah mulai mengusikku. Anak-anak mereka tumbuh besar dan memperanakkan lagi. Suasana gaduh semakin riuh. Rumah mereka disekat-sekat hingga nyaris sulit untuk dapat disebut rumah. Mungkin lebih tepatnya, kandang ternak manusia. Dalam satu rumah terdengar bunyi saut-sautan, entah dari televisi, tape recorder ataupun suara perdebatan sesama mereka. Bising. Dan pembunuhan sesama mereka tersembunyi di balik kebisingan yang semakin memekakkan telinga. Tidak ada tetangga lain yang peduli. Berurusan dengan tetangga satu ini, sama saja dengan berurusan dengan neraka.
Memprihatinkan. Sebagai sesama manusia, tentu saja aku ingin mereka hidup damai, sebab dengan begitu rumahku pun menjadi lebih damai. Dan yang lebih penting, aku tidak mau rugi. Aku tidak ingin harga tanah dan rumahku hancur hanya karena dekat neraka. Maka hari itu aku datangi mereka yang sedang bertikai dalam rumah sendiri dengan toa. Lalu kukatakan pada mereka,”sejujurnya saya tidak peduli kalian mau saling bunuh sekalipun. Tapi tolong usahakan pembunuhan itu terjadi dalam diam, sebab saya ingin tidur.”
Lalu keesokan paginya saya melihat rumah saya dibakar habis. Itulah upah yang harus diterima orang yang suka mengganggu rumah tangga orang lain, kata mereka.


EmoticonEmoticon