Jumat, 01 Juni 2012

Beternak Daging

Tags

Gerundelan Ayu Utami
ayu utami
Ayu Utami; Gambar dari dobbyart.wordpress
Beberapa waktu lalu, sambil sarapan setangkup hamburger saya membaca sebuah berita. Di Belanda, seorang ilmuwan mulai “beternak daging”. Bukan beternak ayam atau sapi pedaging, melainkan betul-betul beternak daging.
Bayangkan. Tak ada lagi hewan dalam kandang. Tak ada lagi bau tahi bakal pupuk organik. Yang ada daging ginuk-ginuk dalam sejenis laboratorium, yaitu pabrik daging. Daging itu didapat dari sel induk hewan. Dalam pabrik itu, daging tersebut akan tumbuh membesar, tanpa kesadaran, tanpa otak, tanpa tulang punggung, tanpa pembuluh darah ataupun jantung yang memompa darah.
Daging dari makhluk—kalau masih bisa disebut makhluk—yang tidak kita kenal sama sekali. Mungkin lebih mirip tahu, atau oncom, atau tempe, atau keju, tapi lebih gawat. Sebab, tahu, tempe, oncom, ataupun keju tidak bertumbuh dari satu sel yang membelah diri jadi banyak.
Saya agak gilo membayangkannya. Gilo itu istilah bahasa ibu saya. Artinya kira-kira ngeri, jijik, sekaligus takjub. Membayangkan daging tumbuh, yang segera teringat oleh saya—maklum saya orang awam—adalah tumor. Langsung leher saya tercekat, sulit menelan lempengan daging cincang di antara roti yang semula saya nikmati dengan lahap.
Saya jadi membayangkan hamburger ini sejenis daging tumbuh. Dan jika daging itu dulunya tak pernah bernyawa, lantas apa yang membuat dia tahu untuk berhenti bertumbuh? Jangan-jangan setelah menjadi pengganti sel-sel tubuh saya,nanti sel-sel itu terus bertumbuh karena ia tak pernah punya memori mati atau berhenti.
Pertanyaan-pertanyaan saya mungkin saja khas orang bodoh. Maklumlah. Zaman sekarang kita tahu, kebanyakan makan daging merah pun bisa memicu sel-sel kanker. Bagaimana pula dengan daging rekayasa ini?
Tapi perdebatan di balik eksperimen ini sebetulnya menarik. Semua berawal dari jumlah manusia yang sudah lebih dari 6 miliar di muka bumi, dengan kerakusan yang tak terbendung. Bagaimana memberi makan 6 miliar mulut dan perut itu? Bumi tidak bisa lagi secara alamiah memberinya. Maka manusia akan harus memproduksi makanannya di dalam “pabrik”. Di RRC,mereka sudah secara terbuka membicarakan “pabrik pertanian”. Pertanian tidak lagi di tanah seperti dulu, tetapi dalam bangunan bertingkat,dengan medium yang selalu bisa bersifat inovatif. Setiap ada medium baru yang bisa untuk berproduksi, mari dicoba. Masalahnya, efek samping memang baru akan ketahuan setelah satu dua generasi.
Lantas,selera makan saya lenyap. Saya letakkan hamburger yang semula nikmat. Aduh…manusia semakin jauh dari yang organik. Betapa menyedihkan bahwa kita tak bisa lagi membayangkan alam pedesaan yang segar dan asri dalam sepiring makanan kita. Kita tidak bisa lagi membayangkan kebun sayur yang terbuka saat mengunyah salad. Kita tidak bisa lagi berterima kasih pada domba dan ternak yang telah disembelih. Kita tidak mendapatkan lagi energi kehidupan dari alam raya. Kita memperolehnya dari pabrik,yang tertutup, mekanis,dan cepat.
Aneh, bahkan pertanian dan peternakan organik kini mulai menjadi Taman Eden, Taman Firdaus yang semakin jauh dan menjadi sejenis mimpi dan kerinduan. Aneh, tiba-tiba gambaran tentang Taman Firdaus itu jadi bermakna sekarang. Sebuah alam asli dan asri yang berlimpah-limpah untuk mendukung kebutuhan manusia, sampai titik di mana manusia memilih mengambil sesuatu yang terlarang. Apa yang terlarang itu?
Alkitab menyebutnya Pohon Pengetahuan. Di ruang yang sempit ini, kita bisa menafsirkannya sebagai pengetahuan untuk mengeksploitasi. Begitu manusia memilih pengetahuan yang mengeksploitasi ini, maka terusirlah mereka dari Taman Eden. Yang ada pada manusia adalah kerinduan laten pada taman surgawi itu.
Akan tetapi, dongeng itu menjadi tidak ganjil sekarang. Kita sedang melihat proses pemisahan lagi. Seperti Adam dan Hawa terusir dari Firdaus, manusia kini juga sedang terusir dari dunia alamiah, memasuki dunia pabrikan. Gaya hidup organik memang dikampanyekan. Tapi jika kita tidak berhenti memproduksi anak dalam skala massal dan tidak membendung kerakusan, hanya mereka yang paling kaya yang bisa hidup organik, seperti sejenis kasta brahmana.
 
 Sumber: Seputar Indonesia Cetak, Minggu 4 Maret 2012


EmoticonEmoticon