Rabu, 06 Maret 2013

Candik Ala 1965: Luka Sejarah di Mata Bocah

Tags

Satu pikiran terlintas di benak saya ketika mata saya tertahan pada sebuah novel berjudul Candik Ala 1965 karya Tinuk Yampolsky adalah hal baru apa yang ditawarkan pengarangnya. Kita tahu, sudah banyak cerita berlatar belakang apa yang disebut banyak orang sebagai “Pemberontakan G 30 S PKI”. Beberapa dari kita yang lahir pada masa orde baru telah begitu karib dengan kekerasan fisik seperti pembunuhan sadis, sayatan silet serta teror mental seiring dengan pemutaran film G 30 S PKI yang itu-itu saja. Masih lekat di benak saya bagaimana serombongan bocah SD digiring untuk nonton film itu ramai-ramai. Setiap tahun. Mengenang jasa para pahlawan revolusi. Dan pada saat itu tidak ada yang lebih mengasyikkan selain berpelukan atau berhimpit saling mendekap sesama kawan karena ketakutan tiada tara. Beberapa kawan perempuan ada yang sekedar ngompol saking jerihnya. Hanya karena sebuah film. Lalu bagaimana jika kekerasan fisik dan psikologis itu terjadi di depan mata?

Menyelami kepribadian Nik, tokoh dalam novel Candik Ala itu, serasa saya diajak mengenang kembali ke masa awal orde baru. Kemiskinan yang meraja lela, makan telor-terigu dadar – saya sebut telor terigu dadar karena lebih banyak tepung terigunya ketimbang telurnya yang hanya satu-, lalu juga penculikan-penculikan dan penembakan misterius (petrus). Agak merinding juga mengikuti cerita Nik ini, apalagi ketika bersamanya menyaksikan banyak orang di jemur di bawah terik sambil mata mereka harus menatap matahari. Seperti menonton film perang Indonesia-Jepang. Mengasyikkan sebagai sebuah tontonan. Sekaligus mengerikan!
Lalu saya teringat cerpen Candik Ala karya GM Sudarta yang juga berlatar belakang tahun 65-an. Secara tidak sengaja nalar saya membandingkan antara novel dengan cerita pendek berjudul nyaris sama, hanya berbeda pada ‘1965’. Meski sebenarnya tidak dapat diperbandingkan, candik ala – candik ala tersebut sepertinya mengangkat hal yang nyaris sama: luka sejarah di mata bocah. Satu hal yang pasti, tahun 65-an telah mempopulerkan istilah ‘candik ala’ yang sangat digemari banyak penulis. Kita tahu, candik ala adalah ketika warna jingga kemerah-merahan mengembang di barat cakrawala senja. Itu selalu memunculkan rasa sepi dan kehilangan yang menyedihkan. Dulu, pada saat seperti itu, (bukan mengutip cerpen GM Sudarta) ibu saya selalu mengingatkan untuk segera masuk ke dalam rumah sebab Bathara Kala sedang mencari mangsa. Aroma kengerian yang sangat, persis kengerian tokoh ‘aku’ dalam cerpen Candik Ala dan tokoh Nik dalam novel.
Hal yang cukup berbeda dalam novel Candik Ala adalah nuansa sekarat lalu bangkitnya kembali sebuah pemahaman pada masa peralihan (awal tahun 80-an). Sehingga sepintas novel ini lebih mirip balada ideologi ketimbang perjalanan hidup seseorang, meski banyak catatan-catatan semacam buku harian seorang militan sehingga kadang saya merasa sedang membaca novel dan pada saat yang sama juga membaca kumpulan cerpen. Ada bagian-bagian novel yang asyik dinikmati sebagai sebuah fragmen yang terpisah dari alur utama novel. Mungkin model kisahan seperti itu juga hal baru yang ditawarkan novel ini, seperti misalnya mengubah tokoh Nik dari ‘ia’ menjadi ‘aku’.
Jika ada hal yang sedikit mengganggu, mungkin lebih pada masalah teknis bahasa. Awalnya saya ingin menjadikan “tata cara penulisan” pada novel itu sebagai salah satu acuan menulis. Tentu saja saya punya alasan kuat terkait hal ini. Lihat saja, orang-orang besar dalam dunia sastra seperti Goenawan Mohamad dan Joko Pinurbo terlibat dalam pembuatan novel ini. Namun, saya menjadi sedikit kecewa dan ragu-ragu setelah meneliti lebih lanjut. Banyak hal berbeda dalam cara penulisannya. Saya berpikir, mungkin saya ketinggalan pedoman penulisan karya sastra.
Tetapi, tentu saja soal sastra tidak melulu soal teknis bahasa. Itu hal yang sangat mudah diperbaiki. Di lain sisi, malah bahasa yang digunakan dalam novel ini menjadi daya ungkit tersendiri sehingga nuansa geger 65 di kota para priyayi jawa menjadi begitu hidup dan nyata. Hal-hal yang ‘waktu itu’ hanya sekedar tontonan menjadi tampak jelas ‘kekerasan psikologinya’ terhadap seorang anak. Dan itu mencipta trauma berkepanjangan. Tidak hanya bagi seorang bocah bernama ‘Nik’ tetapi sebuah generasi yang harus ikut merasakan sakitnya luka sejarah bangsa ini. Meski mungkin sebagian hanya tahu lewat cerita.

novel tinuk yampolskyJudul : Candik Ala 1965 – sebuah novel
Pengarang : Tinuk R. Yampolsky
Penerbit : Katakita
Tahun : Juni 2011
Tebal : 222 hal
ISBN: 978-979-3788-66-2


EmoticonEmoticon