Ayu Utami; Gambar dari dobbyart.wordpress
Beberapa waktu lalu, sambil sarapan setangkup hamburger saya membaca sebuah berita. Di Belanda, seorang ilmuwan mulai “beternak daging”. Bukan beternak ayam atau sapi pedaging, melainkan betul-betul beternak daging.
Bayangkan. Tak ada lagi hewan dalam kandang. Tak ada lagi bau tahi bakal pupuk organik. Yang ada daging ginuk-ginuk dalam sejenis laboratorium, yaitu pabrik daging. Daging itu didapat dari sel induk hewan. Dalam pabrik itu, daging tersebut akan tumbuh membesar, tanpa kesadaran, tanpa otak, tanpa tulang punggung, tanpa pembuluh darah ataupun jantung yang memompa darah.
Daging dari makhluk—kalau masih bisa disebut makhluk—yang tidak kita kenal sama sekali. Mungkin lebih mirip tahu, atau oncom, atau tempe, atau keju, tapi lebih gawat. Sebab, tahu, tempe, oncom, ataupun keju tidak bertumbuh dari satu sel yang membelah diri jadi banyak.
Saya agak gilo membayangkannya. Gilo itu istilah bahasa ibu saya. Artinya kira-kira ngeri, jijik, sekaligus takjub. Membayangkan daging tumbuh, yang segera teringat oleh saya—maklum saya orang awam—adalah tumor. Langsung leher saya tercekat, sulit menelan lempengan daging cincang di antara roti yang semula saya nikmati dengan lahap.