Jumat, 15 Maret 2013

Detik

Tags

detik waktu
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

Gerundelan Alra Ramadhan

Pernah terpikir olehku bahwa dunia ini akan berakhir bahagia. Bahwa kehidupan ini akan memberi akhir yang menyenangkan bagi semua manusia. Bahwa akhir kehidupan ini tak sebegitu ngeri. Bahwa dunia ini berakhir dengan penuh pengertian Yang Maha. Bukan berakhir dengan berbagai perhitungan dan hukuman-hukuman, seperti yang diceritakan kitab-kitab, guru agama, atau kyai. Di suatu senja yang memerah aku terpikir hal tersebut.
“Kau sudah sinting!”
Demikian kata salah satu teman rumah kontrakku ketika suatu hari kuceritakan apa yang terserak dalam pikiranku tersebut.
“Tidak kawan,” timpalku.
Aku diam sejenak, mendeham.
“Percayalah, kehidupan ini berakhir bahagia kelak. Dan hal yang kukatakan ini bukan pula tanpa alasan. Alasan, tepatnya dasar teori, itu begitu banyak. Semuanya bercampur, melebur, dan lantas kutarik kesimpulan sederhana bahwa kehidupan ini berakhir dengan damai.”
“Peradaban,” kataku lagi kemudian. “bukankah dapat dipandang sebagai suatu proses bagaimana manusia menunjukkan kemampuannya dalam menaklukkan alam semesta?”

Rabu, 06 Maret 2013

Tubuh buat Harimau Lapar

Tags
Gerundelan John Kuan
mural
Gambar disediakan oleh John Kuan
Mural ini berada di dalam gua nomor 254 di Dunhuang, berasal dari jaman Dinasti Wei Utara ( 386 -534 ), walaupun warnanya tidak begitu semarak, dan garis-garisnya tidak seluwes mural Dinasti Tang, tetapi dapat membuat orang merasakan semacam meluapnya keikhlasan pengorbanan diri berbalut duka. Warnanya kental, berani dan bebas, goresan kuasnya kasar dan agak kaku, bentuknya khidmat dan sederhana. Mural ini tidak kalah dengan Pengadilan Terakhir Michelangelo di Kapel Sistina. Keduanya sama-sama menggunakan jatuhnya tubuh dan perputarannya sebagai topik utama, tubuh yang jatuh bangun, alam yang kelam gelisah dalam biru lebam dan merah kecoklatan, seakan berada di dalam ruang dan waktu yang keruh gelap belum terkuak, tubuh bagaikan masih bingung terhadap keberadaannya. Pangeran Sattva di dalam mural ini sama seperti penebusan tubuh dalam Pengadilan Terakhir  Michelangelo, perenungan yang dalam tentang pertanyaan sulit terhadap hakiki hidup ——— bagaimana tubuh sadar? Dengan bentuk lukisan memaparkan pertanyaan filsafat, keduanya adalah karya agung, hanya saja pelukis di dinding gua 254 tidak meninggalkan nama, lebih awal seribu tahun dari Michelangelo, di dalam gua yang gelap, dan tetap saja merupakan gambar yang mencerahkan umat manusia.
Michelangelo berdasarkan Kitab Wahyu kepada Yohanes melukis Pengadilan Terakhir, mengisahkan keyakinan Yesus terhadap penebusan tubuh. Pelukis mural di gua 254 Dunhuang melukis Pengorbanan Tubuh buat Harimau Lapar berdasarkan Sutra Suvarnaprabhasottama ( Kitab Cahaya Emas ) yang waktu itu baru diterjemahkan ke dalam Bahasa Han, dengan kisah Buddha sendiri menjelaskan pertanyaan berat tentang pengorbanan tubuh, keduanya memiliki mutu estetika yang sangat serupa.
***

Candik Ala 1965: Luka Sejarah di Mata Bocah

Tags
Satu pikiran terlintas di benak saya ketika mata saya tertahan pada sebuah novel berjudul Candik Ala 1965 karya Tinuk Yampolsky adalah hal baru apa yang ditawarkan pengarangnya. Kita tahu, sudah banyak cerita berlatar belakang apa yang disebut banyak orang sebagai “Pemberontakan G 30 S PKI”. Beberapa dari kita yang lahir pada masa orde baru telah begitu karib dengan kekerasan fisik seperti pembunuhan sadis, sayatan silet serta teror mental seiring dengan pemutaran film G 30 S PKI yang itu-itu saja. Masih lekat di benak saya bagaimana serombongan bocah SD digiring untuk nonton film itu ramai-ramai. Setiap tahun. Mengenang jasa para pahlawan revolusi. Dan pada saat itu tidak ada yang lebih mengasyikkan selain berpelukan atau berhimpit saling mendekap sesama kawan karena ketakutan tiada tara. Beberapa kawan perempuan ada yang sekedar ngompol saking jerihnya. Hanya karena sebuah film. Lalu bagaimana jika kekerasan fisik dan psikologis itu terjadi di depan mata?